Minggu, 23 November 2014

SECRET ADMIRER


Pagi ini aku merasa malas untuk menopang badanku sendiri. Aku tak mau bangun terlalu cepat, ditambah lagi harus dipaksa mengingat kejadian kemarin. Aku adalah pecundang, untuk sekedar menyapa pagi saja butuh ribuan imun, salah satunya kamu. Jika saja hari kemarin adalah sebuah kertas mungkin akan ku lumat habis tak bersisa.

Berlebihan rasanya menjadi si penggerutu pagi ini. Hatiku mulai keropos karena terlalu lelah menggandakan mimpi. Aku adalah seorang pengagum rahasia yang membiarkan perasaan ini menanggung sesak bertahun-tahun. Sebagai pengagum rahasia, ada Salah satu penderitaan yang harus ditanggung yaitu membiarkan orang tersebut lewat dihadapan dan hanya mampu mengungkapkan cinta dalam hati tanpa seorang pun yang tahu, kecuali Tuhan.

Aku hanya bisa mengunjunginya lewat balutan doa Ini adalah rahasiaku dengan Tuhan….

Kemarin nampaknya bukan hari keberuntunganku meskipun kita dipertemukan, karena kita hanya dalam situasi pertemanan biasa. Kamu terus berbincang dengan yang lain, sementara aku bergulat  dengan pikiranku. Aku menghargaimu dengan berusaha keras menahan diri untuk tidak menatapmu. Aku memang menanti hari dimana kita akan berjumpa, kala itu aku berharap kita bisa sekedar bercerita bertukar pengalaman. Dan dasar hatiku rasanya ingin menyapa lalu berkata, “tidakkah kau lihat betapa dirimu membuatku gembira?”
Ah sudahlah…

Mungkin aku berlebihan mengharap kamu menjadi pendampingku, atau setidaknya aku pernah hidup sebagai rindu di telapak tanganmu. Dan nyatanya semua itu omong kosong…
Barangkali kita hanya sepasang orang asing, yang saling bertemu pada ketidak sengajaan. Saling melempar senyum, menatap kosong pada sepasang mata, dan hilang dikesunyian masing-masing. Entah apa yang terjebak diantara ketukan waktu, selain kehilangan demi kehilangan.

Seperti langit kepada bumi, aku dan kamu adalah jarak yang tak dapat bertemu namun masih dapat saling menyaksikan dari kejauhan. Kamu menjadikan waktu sesuatu yang tak bosan ku tunggu. Bersama waktu, kamu lahir dari ingatan yang tak pernah selesai.
Biarkan bahagia ini ku ciptakan sendiri…

Aku memang tak seperti Matahari yang masih setia terbit dari timur, dan menghangatkan semesta. Karena membayangkan Memperjuangkanmu saja aku rapuh. Menutup mulut rapat-rapat dan membuang kuncinya jauh-jauh adalah upaya yang dapat kulakukan saat ini. selesai sudah seharian kemarin kita bercengkrama sekarang saat kembali pada realita yang ada. susahnya menjadi sorang "secret admirer", terlebih hanya ada sesak sisa pertemuan kemarin. aku terlalu bodoh untuk tetap mempertahankan perasaan ini.

melihat sebuah quotes seorang, menyadarkanku seketika.....

"jangan sengaja pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. berjuang tak sebercanda itu".


-sujiwo tejo-

Ya… berjuang memang tak sebercanda itu. Aku mencoba memejam mata mengatur ritme nafas dan menerima kekalahan bahwa kita tak ada apa-apa dan kita bukan siapa-siapa. Tetaplah di sana, biarkan aku mengingatmu sebagai sesuatu yang menenangkan.




Sabtu, 22 November 2014

JENUH


Aku benci kepada setiap ketukan detik yang merangkak pelan-pelan. Selalu saja menawarkan tebakan misteri yang hanya bisa dijawab esok hari. Aku masih menatap cangkir-cangkir kosong, yang mendingin sisa kedatanganmu tadi. Tak ada yang istimewa kini Cuma ada bisu yang menemani. Bekas Jejak kakimu masih menempel pada lantai rumah, bayangan tubuhmu memang sudah menghilang namun aroma parfume masih memenuhi ruangan ini.

Seusai perbincangan tadi, kepalaku rasanya mau pecah. dinding kamar yang hening seolah merayuku untuk menghantamkan kepala ini. Masalah datang silih berganti meminta penyelesaiannnya. Rasanya perjumpaan tadi hanya sia-sia, kau tetap pada pendirianmu untuk sama-sama mengintrospeksi diri.

Aku jenuh….

Hubungan yang kita jalin selama dua puluh empat bulan ini hanya dibumbui pertengkaran, perdebatan dan sisanya rindu. Kalau ditanya mengenai perasaan aku pandai menjawab dengan kalimat  “aku cinta kamu”. Namun hubungan percintaan memang tidak selamanya milik kita, masih ada orang lain yang ikut berkomentar atau sekedar membuat api kecemburuan. Kenapa kita tak jalani saja apa adanya, toh ini adalah kisah milik kita tergantung bagaimana kita sebagai actor melakukan penokohan dengan benar. memang  satu yang perlu diingat masih ada Tuhan sebagai sutradara yang mengatur alurnya….. kita bisa apa???

Dulu aku sangat menikmati prosesnya, saat dimana selalu ada ketukan cinta mendesir keseluruh pembuluh darah. Saat penjajakan menjadi moment indah, yang tak rela bila terlewat.

Mungkin jenuh itu menyentak, saat hati meretas lelah. Betapa masih melekat dalam ingatan kata-kata yang terulur santun saat kita mulai menjalin hubungan. Sepasang bola mata yang kerap memandang teduh, hati yang senatiasa berdebar, suara yang selalu memanjakan telinga dan pelukan hangat yang selalu mampu mengurangi kepenatan. Dan itu semua mungkin akan berakhir dalam hitungan jam…

Aku jenuh….
Aku tidak mungkin menuhankan kamu selevel dengan sang pencipta. Aku ini wanita perasa, yang tak bisa diajak kompromi soal air mata. Malam semakin pekat, entah kenapa aku selalu merasa kau pasti bisa membaca isyaratku. Rasanya pelayanan penyediaan isyarat bukanlah perkara besar untuk Tuhan kan?

Sudah sepuluh malam,  senja dipaksa berlabuh. Sungguh ketidakberadaanmu nanti membuat hidup terasa terlalu panjang untuk dilalui. Mengapa metamorphosis cinta kita tak seindah kupu-kupu?. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa. Karena mendoakan adalah cara mencintai paling rahasia yang bisa kulakuan saat ini.





Kamis, 06 November 2014

TERIMA KASIH, PETANG

Mengalahkan penat yang menjadi musuh besar saat ini bukanlah perkara mudah. Petang ini, kakiku masih berpijak pada sebuah bahu jalan ditemani langit jingga keemasan. Di ujung jalan terlihat badanmu yang gagah tengah menanti kehadiranku. Ketika aku menghampirimu, dengan cepat kau raih tangan ini, mengajakku sekedar menikmati teh hangat dikala senja.

Kita seperti ada dalam sebuah drama, datang untuk untuk melunasi rindu atau pergi untuk menyudahi cerita yang berakhir menjadi sebuah kenangan. Seperti yang sudah-sudah, kita hanya bertukar hening dalam setiap pertemuan. Aku terlalu lelah untuk perduli, mencoba memaknai setiap tatapan kosong yang mampir di wajahmu. Jika saja kau tahu, gambar wajahmu selalu menjadi media diskusi ketika aku rindu.

Langit mulai menampakkan petang yang sendu,  hujan mungkin akan segera menyapa. Secangkir teh hangat nyatanya tak dapat mencairkan suasana yang beku ini. Aku masih menanti kerenyahan senyummu, menunggu kata melesat dari bibirmu. Aku bukan saja menunggu tatapan tajam yang mengisyaratkan cinta, namun juga berharap hiperbola keluar dari mulutmu pada saat merayuku manja.

Kita berada pada posisi berhadapan, namun kenapa kita seperti tawanan cinta yang kehabisan cerita untuk di bagi. Kita tak dalam keadaan berselisih paham, namun kenapa.. ah sudahlah…
Kau masih saja sibuk mengaduk secangkir coklat cair yang baru datang. Sedangkan aku masih menaruh curiga, ada apa dengan kita petang ini.

Jika saja menaikkan alis dapat menemukan  jawaban, akan kulakukan ratusan kali agar kudapat menerka isi kepalamu menyibak kebisuan ini. Mungkin, diam adalah bentuk protesmu terhadap sikapku.

Hampir tiga ribu enam ratus detik kita larut dalam hening. Tak seperti biasanya aku pun enggan bersikap cerewet. Pada hitungan detik selanjutnya saat kubuang pandangan jauh keseberang jalan, ada kehangatan seketika kudapati tanganmu tengah mengelus kepalaku penuh manja. Entah ada apa denganmu hari ini, dan kau hanya berujar “jadilah bagian dari hidupku” seraya menyodorkan kotak persegi berisi cincin.


Bahagia luar biasa pada akhirnya melucur kalimat manis darimu, sejak saat itu aku berterima kasih terhadap petang yang mempertemukan kita di ujung penantian berbagi.





evi