Jumat, 06 Mei 2016

menjelang fajar 🌅

Terbangun oleh aroma malam yang mulai merangkak naik menuju fajar. Seketika aku mengigil pada suhu terendah disanjung dengan ribuan kabut menghalangi pandangan. Dimanakah sebuah pagi kau sembunyikan?

Sakit ini akibat kekalahanku di meja judi mempertaruhkan hatimu. Diacuhkan sepi yang lebih sunyi dari denyut nadiku sendiri. Lipatan tanganku nyatanya tak dapat menurunkan suhu dingin percikan air kesucian sepertiga malam.

Kau tau apa yang unik dari pukul 3 pagi? Yaitu Sajadah yang tergelar dan berjarak sangat dekat dengan kening, memohon agar merindukanmu bukanlah bentuk dosa. Tangisku mulai tak senada dengan jarum jam. Sekitar tujuh ratus kata aku keluarkan dalam bentuk penghambaanku agar lekas dikabul.
Kau tahu apa soal permintaanku kepada Ilahi? Sulit dipercaya kau akan peduli. Aku berpura-pura lupa, bahwa hanya aku yang curiga cinta itu milikku saja.

Pergilah...

Aku akan mencoba meletakkan rindu itu dsamping sepatu yang mengantarku mengitari dunia fana.
Lekaslah kembali jika fajar mulai berada diberanda langit.

Semoga pertemuan Menjadi hukuman yang dapat diampuni oleh kerinduan. Meskipun kita sudah sepakat belajar untuk saling melumpuhkan ingatan.

Beranjak 👣

Rongga dada ini sudah tak sesesak dulu saat berjumpa dengan rupamu. Nampaknya tulang rusukku mulai maklum karna menyadari kau bukan tempatnya kembali. Aku mulai bahagia, meski seperempatnya adalah bohong. aku mulai tersenyum meski separuhnya menangis.

Jika kemarin masih sempat melempar sapa, tidak untuk hari ini dan seterusnya, Karena keadaannya sudah berbeda.
Aku sudah sepakat dengan semesta, untuk tak lagi menjadi hamba penunggu.




❤❤❤❤👣👣👣👣👣👣❤❤❤❤
Selamanya, hidup akan selalu berupa labirin dan misteri yang tak pernah diketahui dengan tuntas. Karena hati yang lelah ini ingin segera bertemu dengan rumahnya. Kau tau aku pernah mencintaimu secara utuh, meski rahasianya hanya milikku dan tuhan saja yang tahu.

Dan aku tahu kau mencintainya tanpa harus menyakiti hatiku. Kau begitu rapih menutupi perasaan cintamu padanya agar aku tetap setia berdiri di barisan terdepan sebagai pengagummu. Izinkan nafas ini menghela secara ikhlas, dan sampai aku selesaikan cerita fiksi ini di penghujung bulan.
Aku tetap pada tapak kakiku mencari potongan hati yg masih melanjuti perjalannya, sedangkan engkau akan berlabuh pada hati yang biasa kau sandarkan. Jagalah dia baik-baik sampai aku siap berdiri dihadapanmu sebagai tamu di pernikahnmu kelak.
Salam hormat,
😩😩😩

Aku yang lelah menanti 👣

Sabtu, 17 Januari 2015

Jikalau Tuhanku Murka

Menginggat para utusan Allah seperti para nabi dan rasul, kita punya tugas yang sama yaitu menyampaikan kebenaran. Jika pada setiap malam Ilahi Rabbi mendengar doa para nabi melakukan permohonan terhadap saudara-saudaranya yang zhalim kami pun serupa. Kami hampir tinggal di tanah zhalim, namun semangat kami tidak pernah tergores dengan kata menyerah.
 Jutaan penduduk muslim terpecah belah di karenakan pemimpinnya yang gemar ingkar janji dan umbar kata. Dia katakan, ia adalah seorang muslim namun menafikan kebenaran yang Allah qalamkan. Tak sedikit yang dia janjikan, namun diingkari. Apakah pemimpin kami ini berasal dari turunan dewa yang tak secuil pun takut dengan siksa neraka??
Apakah pemimpin kami tidak bisa menghamba pada yang Esa?
Atau kelak ia ingin mengEsakan diri?

Paham idealis, menjadikan kami skeptis..
Paham demokratis menjadikan kami pesimis..
Dan paham sekularis membuat kami atheis..

Wahai pemimpim kami, jikalau dalam keadaan sadar engkau patut kami hormati jadikan kami layaknya rakyat yang patut diayomi. Kami tak punya payung, kecuali atap langit milik Tuhan yang kami pinjam. Kami tak punya kehangatan kecuali mentari milik sang Ilahi Rabbi…

Kapan pun kejayaan itu sampai pada tanah zhalim ini semoga Ilahi Rabbi menyegerakannya. Jangan sampai pertumpahan darah saling menghabisi sesama saudara terjadi di Bumi Allah ini. Setitik surga yang jatuh itu ada di tanah khatulistiwa yang hampir zhalim, dan kami masih tetap berada pada barisan penanti amanah kejayaan berikutnya.

                                                                                                            
                                                                                                                                  evi

Jumat, 16 Januari 2015

Sahabat Kecil






Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi

Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli

Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi

Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Janganlah berganti
janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini

Menjelang Fajar

Terbangun oleh aroma malam yang mulai merangkak naik menuju subuh. Sakit ini akibat kekalahanku di meja judi mempertaruhkan hatimu. Barisan kekuatanku rapuh tak bersisa.
Seketika aku mengigil pada suhu terendah disambut dengan ribuan kabut mendekap pandangan.
Dimanakah sebuah pagi bersembunyi? Aku merasa diacuhkan sepi yang lebih sunyi dari denyut nadiku sendiri. Lipatan tanganku tak dapat menurunkan suhu dingin percikan air kesucian sepertiga malam.

Kau tahu apa yang unik dari pukul tiga pagi? Yaitu waktu seorang hamba berserah diatas sajadah yang tergelar dimana kening dan lantai berjarak sangat dekat. Memohon agar merindukanmu bukanlah perkara dosa. Tangisku mulai tak senada dengan jarum jam. Sekitar tujuh ratus kata aku keluarkan dalam bentuk penghambaanku terhadap sang Pencipta agar lekas dikabul.

Jingga milik fajar masih malu-malu untuk muncul. Sedang matahari masih mencari timur untuk terbit. Aku bukanlah Mentari yang rela bersinar demi semesta. Dan aku bukan matahari yang selalu setia tenggelam di barat. Kamu adalah surga yang kupilih sendiri.

Kau tak akan pernah tahu bagaimana rasanya kalah sebagai pecundang. Dan kau tahu apa soal permintaanku kepada Ilahi? Sulit dipercaya kau akan peduli. Aku berpura-pura lupa bahwa rindu ini milikku saja. Pemikiranku beranggapan bahwa hanya aku yang berjuang. Dan curiga cinta ini milikku saja.

Pergilah . . .
Mungkin aku memang kumpulan terbuang.


Aku akan mencoba meletakkan rindu itu disamping sepatu yang mengantarku  mengitari dunia fana. Aku akan Lekas kembali jika fajar mulai berada di beranda langit. Semoga kelak pertemuan menjadi hukuman yang dapat diampuni oleh kerinduan. Meskipun kita sudah sepakat belajar untuk saling melumpuhkan ingatan.



eviscoffe

Sabtu, 27 Desember 2014

Menuju Senja

Ada ketukan langkah kaki pada setiap jejak kesunyian. Badai kesendirian ini belum tentu dapat aku taklukan sendiri. Entah apakah kau mampu beriku penuntun jalan. Sedang saat ini tapak kakimu tengah bertumpu pada sebuah batu besar, berupa masa lalu. Atau mungkin saat ini kau sedang berjalan mencari sebuah sandaran lain. Aku tak paham apalah itu…

Entah kemana lagi kakimu akan melangkah mencari pijakan hangat. Aku selalu kagum pada kegigihanmu menaklukan gunung tinggi, hingga kau lupa kembali. Kau seperti jiwa-jiwa yang menari dari satu ingatan ke ingatan lainnya. Entah kepuasaan macam apa yang hendak ditebar oleh jiwa petualangmu, hingga kau menuhankan kebebasan.

Hidup ini bukan sekedar bicara ketinggian, turunlah agar kau tengok masih ada hamparan dataran rendah yang menunggu untuk dipijak. Aku menyadari disanalah kau akan mendapat ketenangan. Aku memang masih saja terus berfikir sampai kapan kau akan mengerti, hidup ini hanya sekedar singgah. Dan Tuhan Maha Baik menciptakan semesta untuk dinikmati.

Seandainya kau bisa ku tarik pulang, tak akan rindu ini bertindak semena-mena.
Memang akan selalu ada gemercik kenangan menghantui kemana pergi sang penyusun cerita. Betapapun berbisik kau akan tetap disana, aku bisa apa? Menarikmu turun?


Biar sajalah seperti itu, walau sebenarnya kau sangat sadar bahwa pandanganmu terlalu sinis, hanya untuk sekedar menuju senja yang temaram.




                                                                                                                                                ~evi~

Jumat, 19 Desember 2014

Malaikat Mendukung


Pukul 14:14
sayang, temui aku nanti malam di tempat biasa ya.. bantu aku untuk melunasi rindu ini”
Ada pesan singkat dari sang kapten kesayangan kudapati siang ini. Seketika senyumku mengembang disambut degup jantung kebahagiaan. Ah ! aku tidak salah lihat, kan? Pesan singkat ini darimu, seseorang yang sudah lama tak ku jumpai keegoisannya…

Tak pakai pikir panjang, langsung ku balas tanpa aling basa-basi ..
jangan datang hanya untuk melunasi rindu, aku disini menagih janjimu untuk bersedia datang kerumah
Dan Balasan pesanmu sepertinya kilat “ jangan buat aku tertekan,aku baru saja mendarat  dari ketinggian ribuan kaki di atas permukaan air laut. Beruntung aku masih bisa mengirim pesan untukmu."

Aku baru saja berhasil membuatnya geram, sifat jahilku agaknya memancing kekesalannya. Aku tahu kau baru saja tiba dalam perjalanan panjangmu dan berusaha menemuiku untuk melepas rindu.
Puas rasanya menggoda laki-laki jantan sepertimu. Aku memang menjengkelkan, namun aku sadar sifat inilah yang membuatmu tergila-gila padaku. Gelak tawaku makin menjadi-jadi saat pesan kembali kubalas “jadi pertemuan mana yang akan kau mulai dahulu? Menemui orang tuaku atau melihat salah satu keajaiban Tuhan,yaitu aku.. hehe”

Sepertinya Kau kembali meladeni gurauanku yang konyol, dengan membalas  “aku akan menemui salah satu dari 8 kejaiban dunia yang salah satunya adalah makhluk langka sepertimu..aku tunggu kamu jam 7 malam di café tempat biasa kita bertemu, ku mohon jangan terlambat. Tertanda diktator rindu.”

Meledek sudah menjadi kebiasaanku sejak mengenalnya, dan pesan kembali ku balas “jadi sekarang keajaiban dunia sudah ada 8 ya? Jangan mentang-mentang sudah berkeliling dunia kau berani membuat khayalan baru”

“ simpan saja leluconmu itu, bila bertemu nanti siap-siaplah untuk menanggung resikonya.” Dia mulai mengancam.
----------

Percakapan pesan singkat berhenti sampai situ. Siang ini tak dapat aku gambarkan melalui kata, tak sanggup membayangkannya yang hampir setengah windu tak kujumpai. Aku ingin malam nanti malaikat mendukung pertemuanku.

Malam nampaknya siap menyambut kapten yang berhari-hari tak menginjakkan kakinya ke tanah. Seperti biasa aku menghias diri untuk menemuinya, aku tak mau ada kata celaan seperti yang sudah-sudah karna celana jeans robek yang biasa ku kenakan, khusus malam ini aku memakai rok panjang agar terlihat anggun.

Tepat pukul 7 malam aku sudah bertengger di kursi sebuah café dengan suasana yang diliputi kecemasan. Latar café taman yang dihiasi lampu dan alunan lagu yang dibawakan oleh pengisi acara menemani durasi tungguku. Tak seperti biasanya, aku seperti merasakan kencan pertama. Tak kuhiraukan lagi orang-orang sekeliling, aku sibuk memeriksa pesan masuk darimu.

Udara semakin dingin, sesekali aku menahan rok yang tersingkap dibawa terbang oleh angin. Sial! aku salah menggunakan kostum, bisa-bisa sakit kalau anginnya seganas ini.

Sudah lebih enam puluh menit aku dibiarkan menunggu ditengah keramaian penghuni kafe. Batang hidungmu yang besar belum tampak juga. Kemana gerangan manusia tampan penggendara pesawat itu singgah, adakah dia salah mendarat?

Ditengah penantianku, akhirnya ada pesan masuk yang berbunyi “sayangku yang cantik penghuni bumi, maaf kaptenmu ini agaknya akan telat datang. Aku akan datang jam 8 karna masih ada kepentingan yang tak dapat ditinggalkan”

Aku menaikkan bibir atasku hingga menyentuh hidung sambil mengernyitkan dahi. Sudah kuduga, pantas saja aku menunggu selama ini namun tak tampak juga badanmu yang gagah. Sepertinya penantianku setengah windu masih harus diuji seratus dua puluh menit lagi.

“iya, aku tunggu… asal kau tau perutku sudah kembung disapa angin, dan siap mengeluarkan gas beracun” balasku dengan ketus.

Inilah hebatnya zaman modern, tak perlu takut kesepian jika ada gadget. Aku Nampak seperti gadis abg yang sedang menunggu om-om mencari mangsa sambil mengutak atik gadget. Oh Tuhan…..

Sesekali kubuang pandangan ke sekeliling kafe, berharap mendapat kejutan berhadiah. tiba-tiba  Pesan singkat kembali masuk “kamu dimana? Aku sudah di parkiran”
lalu ku balas “kenapa tak kau coba untuk masuk? Bukankah kita berjanji bertemu di kafe, bukan di parkiran kapten?”
“hahaha.. cukup lama ku tinggal sepertinya bakat melucumu makin bagus. Oke aku segera menyusul”  tandasnya

Setibanya nanti aku akan memarahinya dan akan ku minta pertanggung jawabannya, setiap detiknya akan ku kalikan seratus ribu per waktu tunggu.
Aku yang mulai geram tak sabar untuk menemuinya akhirnya memutuskan untuk menelepon. Aku memang agak ragu untuk menghubunginya, namun nadanya sudah tersambung. Diujung telepon dengan sigap dia menjawab “aku sudah di depan kafe, jangan terburu-buru malam masih panjang

Aku yang terkejut mendengar suaranya serasa tak berdaya untuk memarahinya. Suaranya masih seperti dulu, santun dan tegas. Aku hanya bisa menjawab “iya, aku duduk persis dekat panggung ya..” nada suaraku menurun tunduk.

Aku tak percaya mendengar suaranya saja aku gugup. ini gila! Mengapa seperti rasa kencan pertama? Padahal kami sudah lama menjalin hubungan, kenapa seperti hendak menemui orang asing? hanya dipisahkan jarak tapi berhasil mengaduk-aduk perasaan dan ini bukan hal biasa.

Yap ! disana… sosok itu… dia telah datang, masih seperti dulu dan nampaknya dia terlihat lebih kurus. Aku tersenyum dari kejauhan memandangnya dalam keadaan baik-baik saja, itu sudah cukup. Dia  Nampak sibuk mencariku, mondar-mandir mengelilingi meja demi meja. Sedang aku memperhatikannya dari jauh, berharap ia menemukanku ditengah keramaian pengunjung kafe. Ah, kasihan jika melihatnya seperti orang kebingungan mencari orang hilang. Aku berusaha melambaikan tangan kearahnya, nampaknya ia tak melihat ke arahku, dia masih sibuk mencariku. Aku ingin dia lebih berusaha menemukanku. Tapi, dia tampaknya semakin jauh mencariku. Tak pakai pikir panjang aku berjalan mendekatinya, dia semakin menjauh tak cukup hanya berjalan cepat akhirnya aku berlari kecil menghampirinya.


Ku panggil namanya, kutepuk pundaknya dan kuraih tangannya. Ini bukan pertemuan biasa, harus ku akui kami datang untuk sama-sama melunasi rindu. Saat itu hanya ada pelukan erat yang tak mampu ku lepaskan. Aku betul-betul merindukannya dan tak banyak kata yang keluar selain senyum mengembang dari masing-masing bibir kami. Kami saling menyimak wajah yang telah lama tak bertemu. Tidakkah ini hadiah yang Tuhan berikan untukku. Terima kasih Tuhan, akhirnya kami dipertemukan kembali dibawah reruntuhan gerimis dengan tangan saling mengenggam erat, Dan malaikat yang telah mendukung pertemuan kami. Aku, kamu dan jarak yang menjadikannya indah. Karena kamulah yang menjadikan waktu yang tak pernah bosan ku tunggu.


 Terima kasih untuk semesta.