Terbangun oleh aroma malam yang mulai
merangkak naik menuju subuh. Sakit ini akibat kekalahanku di meja judi
mempertaruhkan hatimu. Barisan kekuatanku rapuh tak bersisa.
Seketika aku mengigil pada suhu terendah
disambut dengan ribuan kabut mendekap pandangan.
Dimanakah sebuah pagi bersembunyi? Aku
merasa diacuhkan sepi yang lebih sunyi dari denyut nadiku sendiri. Lipatan
tanganku tak dapat menurunkan suhu dingin percikan air kesucian sepertiga
malam.
Kau tahu apa yang unik dari pukul tiga
pagi? Yaitu waktu seorang hamba berserah diatas sajadah yang tergelar dimana
kening dan lantai berjarak sangat dekat. Memohon agar merindukanmu bukanlah
perkara dosa. Tangisku mulai tak senada dengan jarum jam. Sekitar tujuh ratus
kata aku keluarkan dalam bentuk penghambaanku terhadap sang Pencipta agar lekas
dikabul.
Jingga milik fajar masih malu-malu untuk
muncul. Sedang matahari masih mencari timur untuk terbit. Aku bukanlah Mentari yang
rela bersinar demi semesta. Dan aku bukan matahari yang selalu setia tenggelam
di barat. Kamu adalah surga yang kupilih sendiri.
Kau tak akan pernah tahu bagaimana
rasanya kalah sebagai pecundang. Dan kau tahu apa soal permintaanku kepada
Ilahi? Sulit dipercaya kau akan peduli. Aku berpura-pura lupa bahwa rindu ini
milikku saja. Pemikiranku beranggapan bahwa hanya aku yang berjuang. Dan curiga
cinta ini milikku saja.
Pergilah . . .
Mungkin aku memang kumpulan terbuang.
Aku akan mencoba meletakkan rindu itu
disamping sepatu yang mengantarku
mengitari dunia fana. Aku akan Lekas kembali jika fajar mulai berada di
beranda langit. Semoga kelak pertemuan menjadi hukuman yang dapat diampuni oleh
kerinduan. Meskipun kita sudah sepakat belajar untuk saling melumpuhkan
ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar