Jumat, 16 Januari 2015

Menjelang Fajar

Terbangun oleh aroma malam yang mulai merangkak naik menuju subuh. Sakit ini akibat kekalahanku di meja judi mempertaruhkan hatimu. Barisan kekuatanku rapuh tak bersisa.
Seketika aku mengigil pada suhu terendah disambut dengan ribuan kabut mendekap pandangan.
Dimanakah sebuah pagi bersembunyi? Aku merasa diacuhkan sepi yang lebih sunyi dari denyut nadiku sendiri. Lipatan tanganku tak dapat menurunkan suhu dingin percikan air kesucian sepertiga malam.

Kau tahu apa yang unik dari pukul tiga pagi? Yaitu waktu seorang hamba berserah diatas sajadah yang tergelar dimana kening dan lantai berjarak sangat dekat. Memohon agar merindukanmu bukanlah perkara dosa. Tangisku mulai tak senada dengan jarum jam. Sekitar tujuh ratus kata aku keluarkan dalam bentuk penghambaanku terhadap sang Pencipta agar lekas dikabul.

Jingga milik fajar masih malu-malu untuk muncul. Sedang matahari masih mencari timur untuk terbit. Aku bukanlah Mentari yang rela bersinar demi semesta. Dan aku bukan matahari yang selalu setia tenggelam di barat. Kamu adalah surga yang kupilih sendiri.

Kau tak akan pernah tahu bagaimana rasanya kalah sebagai pecundang. Dan kau tahu apa soal permintaanku kepada Ilahi? Sulit dipercaya kau akan peduli. Aku berpura-pura lupa bahwa rindu ini milikku saja. Pemikiranku beranggapan bahwa hanya aku yang berjuang. Dan curiga cinta ini milikku saja.

Pergilah . . .
Mungkin aku memang kumpulan terbuang.


Aku akan mencoba meletakkan rindu itu disamping sepatu yang mengantarku  mengitari dunia fana. Aku akan Lekas kembali jika fajar mulai berada di beranda langit. Semoga kelak pertemuan menjadi hukuman yang dapat diampuni oleh kerinduan. Meskipun kita sudah sepakat belajar untuk saling melumpuhkan ingatan.



eviscoffe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar