Sabtu, 27 Desember 2014

Menuju Senja

Ada ketukan langkah kaki pada setiap jejak kesunyian. Badai kesendirian ini belum tentu dapat aku taklukan sendiri. Entah apakah kau mampu beriku penuntun jalan. Sedang saat ini tapak kakimu tengah bertumpu pada sebuah batu besar, berupa masa lalu. Atau mungkin saat ini kau sedang berjalan mencari sebuah sandaran lain. Aku tak paham apalah itu…

Entah kemana lagi kakimu akan melangkah mencari pijakan hangat. Aku selalu kagum pada kegigihanmu menaklukan gunung tinggi, hingga kau lupa kembali. Kau seperti jiwa-jiwa yang menari dari satu ingatan ke ingatan lainnya. Entah kepuasaan macam apa yang hendak ditebar oleh jiwa petualangmu, hingga kau menuhankan kebebasan.

Hidup ini bukan sekedar bicara ketinggian, turunlah agar kau tengok masih ada hamparan dataran rendah yang menunggu untuk dipijak. Aku menyadari disanalah kau akan mendapat ketenangan. Aku memang masih saja terus berfikir sampai kapan kau akan mengerti, hidup ini hanya sekedar singgah. Dan Tuhan Maha Baik menciptakan semesta untuk dinikmati.

Seandainya kau bisa ku tarik pulang, tak akan rindu ini bertindak semena-mena.
Memang akan selalu ada gemercik kenangan menghantui kemana pergi sang penyusun cerita. Betapapun berbisik kau akan tetap disana, aku bisa apa? Menarikmu turun?


Biar sajalah seperti itu, walau sebenarnya kau sangat sadar bahwa pandanganmu terlalu sinis, hanya untuk sekedar menuju senja yang temaram.




                                                                                                                                                ~evi~

Jumat, 19 Desember 2014

Malaikat Mendukung


Pukul 14:14
sayang, temui aku nanti malam di tempat biasa ya.. bantu aku untuk melunasi rindu ini”
Ada pesan singkat dari sang kapten kesayangan kudapati siang ini. Seketika senyumku mengembang disambut degup jantung kebahagiaan. Ah ! aku tidak salah lihat, kan? Pesan singkat ini darimu, seseorang yang sudah lama tak ku jumpai keegoisannya…

Tak pakai pikir panjang, langsung ku balas tanpa aling basa-basi ..
jangan datang hanya untuk melunasi rindu, aku disini menagih janjimu untuk bersedia datang kerumah
Dan Balasan pesanmu sepertinya kilat “ jangan buat aku tertekan,aku baru saja mendarat  dari ketinggian ribuan kaki di atas permukaan air laut. Beruntung aku masih bisa mengirim pesan untukmu."

Aku baru saja berhasil membuatnya geram, sifat jahilku agaknya memancing kekesalannya. Aku tahu kau baru saja tiba dalam perjalanan panjangmu dan berusaha menemuiku untuk melepas rindu.
Puas rasanya menggoda laki-laki jantan sepertimu. Aku memang menjengkelkan, namun aku sadar sifat inilah yang membuatmu tergila-gila padaku. Gelak tawaku makin menjadi-jadi saat pesan kembali kubalas “jadi pertemuan mana yang akan kau mulai dahulu? Menemui orang tuaku atau melihat salah satu keajaiban Tuhan,yaitu aku.. hehe”

Sepertinya Kau kembali meladeni gurauanku yang konyol, dengan membalas  “aku akan menemui salah satu dari 8 kejaiban dunia yang salah satunya adalah makhluk langka sepertimu..aku tunggu kamu jam 7 malam di café tempat biasa kita bertemu, ku mohon jangan terlambat. Tertanda diktator rindu.”

Meledek sudah menjadi kebiasaanku sejak mengenalnya, dan pesan kembali ku balas “jadi sekarang keajaiban dunia sudah ada 8 ya? Jangan mentang-mentang sudah berkeliling dunia kau berani membuat khayalan baru”

“ simpan saja leluconmu itu, bila bertemu nanti siap-siaplah untuk menanggung resikonya.” Dia mulai mengancam.
----------

Percakapan pesan singkat berhenti sampai situ. Siang ini tak dapat aku gambarkan melalui kata, tak sanggup membayangkannya yang hampir setengah windu tak kujumpai. Aku ingin malam nanti malaikat mendukung pertemuanku.

Malam nampaknya siap menyambut kapten yang berhari-hari tak menginjakkan kakinya ke tanah. Seperti biasa aku menghias diri untuk menemuinya, aku tak mau ada kata celaan seperti yang sudah-sudah karna celana jeans robek yang biasa ku kenakan, khusus malam ini aku memakai rok panjang agar terlihat anggun.

Tepat pukul 7 malam aku sudah bertengger di kursi sebuah café dengan suasana yang diliputi kecemasan. Latar café taman yang dihiasi lampu dan alunan lagu yang dibawakan oleh pengisi acara menemani durasi tungguku. Tak seperti biasanya, aku seperti merasakan kencan pertama. Tak kuhiraukan lagi orang-orang sekeliling, aku sibuk memeriksa pesan masuk darimu.

Udara semakin dingin, sesekali aku menahan rok yang tersingkap dibawa terbang oleh angin. Sial! aku salah menggunakan kostum, bisa-bisa sakit kalau anginnya seganas ini.

Sudah lebih enam puluh menit aku dibiarkan menunggu ditengah keramaian penghuni kafe. Batang hidungmu yang besar belum tampak juga. Kemana gerangan manusia tampan penggendara pesawat itu singgah, adakah dia salah mendarat?

Ditengah penantianku, akhirnya ada pesan masuk yang berbunyi “sayangku yang cantik penghuni bumi, maaf kaptenmu ini agaknya akan telat datang. Aku akan datang jam 8 karna masih ada kepentingan yang tak dapat ditinggalkan”

Aku menaikkan bibir atasku hingga menyentuh hidung sambil mengernyitkan dahi. Sudah kuduga, pantas saja aku menunggu selama ini namun tak tampak juga badanmu yang gagah. Sepertinya penantianku setengah windu masih harus diuji seratus dua puluh menit lagi.

“iya, aku tunggu… asal kau tau perutku sudah kembung disapa angin, dan siap mengeluarkan gas beracun” balasku dengan ketus.

Inilah hebatnya zaman modern, tak perlu takut kesepian jika ada gadget. Aku Nampak seperti gadis abg yang sedang menunggu om-om mencari mangsa sambil mengutak atik gadget. Oh Tuhan…..

Sesekali kubuang pandangan ke sekeliling kafe, berharap mendapat kejutan berhadiah. tiba-tiba  Pesan singkat kembali masuk “kamu dimana? Aku sudah di parkiran”
lalu ku balas “kenapa tak kau coba untuk masuk? Bukankah kita berjanji bertemu di kafe, bukan di parkiran kapten?”
“hahaha.. cukup lama ku tinggal sepertinya bakat melucumu makin bagus. Oke aku segera menyusul”  tandasnya

Setibanya nanti aku akan memarahinya dan akan ku minta pertanggung jawabannya, setiap detiknya akan ku kalikan seratus ribu per waktu tunggu.
Aku yang mulai geram tak sabar untuk menemuinya akhirnya memutuskan untuk menelepon. Aku memang agak ragu untuk menghubunginya, namun nadanya sudah tersambung. Diujung telepon dengan sigap dia menjawab “aku sudah di depan kafe, jangan terburu-buru malam masih panjang

Aku yang terkejut mendengar suaranya serasa tak berdaya untuk memarahinya. Suaranya masih seperti dulu, santun dan tegas. Aku hanya bisa menjawab “iya, aku duduk persis dekat panggung ya..” nada suaraku menurun tunduk.

Aku tak percaya mendengar suaranya saja aku gugup. ini gila! Mengapa seperti rasa kencan pertama? Padahal kami sudah lama menjalin hubungan, kenapa seperti hendak menemui orang asing? hanya dipisahkan jarak tapi berhasil mengaduk-aduk perasaan dan ini bukan hal biasa.

Yap ! disana… sosok itu… dia telah datang, masih seperti dulu dan nampaknya dia terlihat lebih kurus. Aku tersenyum dari kejauhan memandangnya dalam keadaan baik-baik saja, itu sudah cukup. Dia  Nampak sibuk mencariku, mondar-mandir mengelilingi meja demi meja. Sedang aku memperhatikannya dari jauh, berharap ia menemukanku ditengah keramaian pengunjung kafe. Ah, kasihan jika melihatnya seperti orang kebingungan mencari orang hilang. Aku berusaha melambaikan tangan kearahnya, nampaknya ia tak melihat ke arahku, dia masih sibuk mencariku. Aku ingin dia lebih berusaha menemukanku. Tapi, dia tampaknya semakin jauh mencariku. Tak pakai pikir panjang aku berjalan mendekatinya, dia semakin menjauh tak cukup hanya berjalan cepat akhirnya aku berlari kecil menghampirinya.


Ku panggil namanya, kutepuk pundaknya dan kuraih tangannya. Ini bukan pertemuan biasa, harus ku akui kami datang untuk sama-sama melunasi rindu. Saat itu hanya ada pelukan erat yang tak mampu ku lepaskan. Aku betul-betul merindukannya dan tak banyak kata yang keluar selain senyum mengembang dari masing-masing bibir kami. Kami saling menyimak wajah yang telah lama tak bertemu. Tidakkah ini hadiah yang Tuhan berikan untukku. Terima kasih Tuhan, akhirnya kami dipertemukan kembali dibawah reruntuhan gerimis dengan tangan saling mengenggam erat, Dan malaikat yang telah mendukung pertemuan kami. Aku, kamu dan jarak yang menjadikannya indah. Karena kamulah yang menjadikan waktu yang tak pernah bosan ku tunggu.


 Terima kasih untuk semesta.                       
 

Minggu, 23 November 2014

SECRET ADMIRER


Pagi ini aku merasa malas untuk menopang badanku sendiri. Aku tak mau bangun terlalu cepat, ditambah lagi harus dipaksa mengingat kejadian kemarin. Aku adalah pecundang, untuk sekedar menyapa pagi saja butuh ribuan imun, salah satunya kamu. Jika saja hari kemarin adalah sebuah kertas mungkin akan ku lumat habis tak bersisa.

Berlebihan rasanya menjadi si penggerutu pagi ini. Hatiku mulai keropos karena terlalu lelah menggandakan mimpi. Aku adalah seorang pengagum rahasia yang membiarkan perasaan ini menanggung sesak bertahun-tahun. Sebagai pengagum rahasia, ada Salah satu penderitaan yang harus ditanggung yaitu membiarkan orang tersebut lewat dihadapan dan hanya mampu mengungkapkan cinta dalam hati tanpa seorang pun yang tahu, kecuali Tuhan.

Aku hanya bisa mengunjunginya lewat balutan doa Ini adalah rahasiaku dengan Tuhan….

Kemarin nampaknya bukan hari keberuntunganku meskipun kita dipertemukan, karena kita hanya dalam situasi pertemanan biasa. Kamu terus berbincang dengan yang lain, sementara aku bergulat  dengan pikiranku. Aku menghargaimu dengan berusaha keras menahan diri untuk tidak menatapmu. Aku memang menanti hari dimana kita akan berjumpa, kala itu aku berharap kita bisa sekedar bercerita bertukar pengalaman. Dan dasar hatiku rasanya ingin menyapa lalu berkata, “tidakkah kau lihat betapa dirimu membuatku gembira?”
Ah sudahlah…

Mungkin aku berlebihan mengharap kamu menjadi pendampingku, atau setidaknya aku pernah hidup sebagai rindu di telapak tanganmu. Dan nyatanya semua itu omong kosong…
Barangkali kita hanya sepasang orang asing, yang saling bertemu pada ketidak sengajaan. Saling melempar senyum, menatap kosong pada sepasang mata, dan hilang dikesunyian masing-masing. Entah apa yang terjebak diantara ketukan waktu, selain kehilangan demi kehilangan.

Seperti langit kepada bumi, aku dan kamu adalah jarak yang tak dapat bertemu namun masih dapat saling menyaksikan dari kejauhan. Kamu menjadikan waktu sesuatu yang tak bosan ku tunggu. Bersama waktu, kamu lahir dari ingatan yang tak pernah selesai.
Biarkan bahagia ini ku ciptakan sendiri…

Aku memang tak seperti Matahari yang masih setia terbit dari timur, dan menghangatkan semesta. Karena membayangkan Memperjuangkanmu saja aku rapuh. Menutup mulut rapat-rapat dan membuang kuncinya jauh-jauh adalah upaya yang dapat kulakukan saat ini. selesai sudah seharian kemarin kita bercengkrama sekarang saat kembali pada realita yang ada. susahnya menjadi sorang "secret admirer", terlebih hanya ada sesak sisa pertemuan kemarin. aku terlalu bodoh untuk tetap mempertahankan perasaan ini.

melihat sebuah quotes seorang, menyadarkanku seketika.....

"jangan sengaja pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. berjuang tak sebercanda itu".


-sujiwo tejo-

Ya… berjuang memang tak sebercanda itu. Aku mencoba memejam mata mengatur ritme nafas dan menerima kekalahan bahwa kita tak ada apa-apa dan kita bukan siapa-siapa. Tetaplah di sana, biarkan aku mengingatmu sebagai sesuatu yang menenangkan.




Sabtu, 22 November 2014

JENUH


Aku benci kepada setiap ketukan detik yang merangkak pelan-pelan. Selalu saja menawarkan tebakan misteri yang hanya bisa dijawab esok hari. Aku masih menatap cangkir-cangkir kosong, yang mendingin sisa kedatanganmu tadi. Tak ada yang istimewa kini Cuma ada bisu yang menemani. Bekas Jejak kakimu masih menempel pada lantai rumah, bayangan tubuhmu memang sudah menghilang namun aroma parfume masih memenuhi ruangan ini.

Seusai perbincangan tadi, kepalaku rasanya mau pecah. dinding kamar yang hening seolah merayuku untuk menghantamkan kepala ini. Masalah datang silih berganti meminta penyelesaiannnya. Rasanya perjumpaan tadi hanya sia-sia, kau tetap pada pendirianmu untuk sama-sama mengintrospeksi diri.

Aku jenuh….

Hubungan yang kita jalin selama dua puluh empat bulan ini hanya dibumbui pertengkaran, perdebatan dan sisanya rindu. Kalau ditanya mengenai perasaan aku pandai menjawab dengan kalimat  “aku cinta kamu”. Namun hubungan percintaan memang tidak selamanya milik kita, masih ada orang lain yang ikut berkomentar atau sekedar membuat api kecemburuan. Kenapa kita tak jalani saja apa adanya, toh ini adalah kisah milik kita tergantung bagaimana kita sebagai actor melakukan penokohan dengan benar. memang  satu yang perlu diingat masih ada Tuhan sebagai sutradara yang mengatur alurnya….. kita bisa apa???

Dulu aku sangat menikmati prosesnya, saat dimana selalu ada ketukan cinta mendesir keseluruh pembuluh darah. Saat penjajakan menjadi moment indah, yang tak rela bila terlewat.

Mungkin jenuh itu menyentak, saat hati meretas lelah. Betapa masih melekat dalam ingatan kata-kata yang terulur santun saat kita mulai menjalin hubungan. Sepasang bola mata yang kerap memandang teduh, hati yang senatiasa berdebar, suara yang selalu memanjakan telinga dan pelukan hangat yang selalu mampu mengurangi kepenatan. Dan itu semua mungkin akan berakhir dalam hitungan jam…

Aku jenuh….
Aku tidak mungkin menuhankan kamu selevel dengan sang pencipta. Aku ini wanita perasa, yang tak bisa diajak kompromi soal air mata. Malam semakin pekat, entah kenapa aku selalu merasa kau pasti bisa membaca isyaratku. Rasanya pelayanan penyediaan isyarat bukanlah perkara besar untuk Tuhan kan?

Sudah sepuluh malam,  senja dipaksa berlabuh. Sungguh ketidakberadaanmu nanti membuat hidup terasa terlalu panjang untuk dilalui. Mengapa metamorphosis cinta kita tak seindah kupu-kupu?. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa. Karena mendoakan adalah cara mencintai paling rahasia yang bisa kulakuan saat ini.





Kamis, 06 November 2014

TERIMA KASIH, PETANG

Mengalahkan penat yang menjadi musuh besar saat ini bukanlah perkara mudah. Petang ini, kakiku masih berpijak pada sebuah bahu jalan ditemani langit jingga keemasan. Di ujung jalan terlihat badanmu yang gagah tengah menanti kehadiranku. Ketika aku menghampirimu, dengan cepat kau raih tangan ini, mengajakku sekedar menikmati teh hangat dikala senja.

Kita seperti ada dalam sebuah drama, datang untuk untuk melunasi rindu atau pergi untuk menyudahi cerita yang berakhir menjadi sebuah kenangan. Seperti yang sudah-sudah, kita hanya bertukar hening dalam setiap pertemuan. Aku terlalu lelah untuk perduli, mencoba memaknai setiap tatapan kosong yang mampir di wajahmu. Jika saja kau tahu, gambar wajahmu selalu menjadi media diskusi ketika aku rindu.

Langit mulai menampakkan petang yang sendu,  hujan mungkin akan segera menyapa. Secangkir teh hangat nyatanya tak dapat mencairkan suasana yang beku ini. Aku masih menanti kerenyahan senyummu, menunggu kata melesat dari bibirmu. Aku bukan saja menunggu tatapan tajam yang mengisyaratkan cinta, namun juga berharap hiperbola keluar dari mulutmu pada saat merayuku manja.

Kita berada pada posisi berhadapan, namun kenapa kita seperti tawanan cinta yang kehabisan cerita untuk di bagi. Kita tak dalam keadaan berselisih paham, namun kenapa.. ah sudahlah…
Kau masih saja sibuk mengaduk secangkir coklat cair yang baru datang. Sedangkan aku masih menaruh curiga, ada apa dengan kita petang ini.

Jika saja menaikkan alis dapat menemukan  jawaban, akan kulakukan ratusan kali agar kudapat menerka isi kepalamu menyibak kebisuan ini. Mungkin, diam adalah bentuk protesmu terhadap sikapku.

Hampir tiga ribu enam ratus detik kita larut dalam hening. Tak seperti biasanya aku pun enggan bersikap cerewet. Pada hitungan detik selanjutnya saat kubuang pandangan jauh keseberang jalan, ada kehangatan seketika kudapati tanganmu tengah mengelus kepalaku penuh manja. Entah ada apa denganmu hari ini, dan kau hanya berujar “jadilah bagian dari hidupku” seraya menyodorkan kotak persegi berisi cincin.


Bahagia luar biasa pada akhirnya melucur kalimat manis darimu, sejak saat itu aku berterima kasih terhadap petang yang mempertemukan kita di ujung penantian berbagi.





evi


Sabtu, 18 Oktober 2014

RINDU

Jutaan tetes air terpelanting  ke bumi
Rinai gerimis ini seolah mengingatkan arsir pelangi dilingkar senyummu
Senja memang tau bagaimana caranya bercengkrama dengan hujan
Aku mencintai hujan, baik ketika gerimis atau tengah bersiap menunggu pelangi

Hujan tetaplah hujan…

Ku harap hujan dapat membuatmu menulis namaku disetiap kaca basah yang kau jumpai
Ingin sekali ku lompati waktu, karna rindu ini membuatku candu

Hujan masih saja bersanding dengan awan hitam
sementara langit kita masih sama, bernama rindu…

aku mengeluh, aku takut langit ini runtuh
entah kenapa jarak selalu suka berada ditengah kita
mengetuk jendela rindu ini
dan memerintahkan imaji memukul-mukul kesadaran dan berhasil menembus hati yang mengigil karena rindu…

semoga langit menyudahi gerimisnya, agar tetap ada senyum berkepanjangan hari ini
sebab, dari timur langit aku masih setia memandangmu
meskipun jarum jam tak mau bergerak lebih cepat dari yang ku harap
hanya langit-langit kamar dibawah temaram lampu dan reruntuhan gerimis yang menggenapkan kehilangan

pada musim yang singkat kita kembalikan apa yang pernah terjadi
berbisiklah… agar ku simak rinai gerimis disudut bibirmu

selamat malam, semoga Tuhan mau menjentikkan jariNya
sekali saja untuk memperpanjang durasi tungguku


evi

Senin, 04 Agustus 2014

WE ARE "FEEA" GANK

;

"RUANG PENGGANTI"

Hangat masih terasa menempel di tembok ruangan ini
Ruangan persegi yang biasa dihuni oleh banyak makhluk, baik kasar maupun astral.
Kebisingan masih jelas terdengar dibalik pintu usang yang tak berkunci ini.
Di ruangan ini masih jelas terhirup semangat membara para calon pemimpin bangsa.
Di ruangan ini pula tepat setahun silam aku, kamu, kita / kami belajar mengenal arti kepemimpinan dan tanggung jawab.
Detik-detik pelengseran semakin dekat, entah mengapa ruangan teduh ini masih mempunyai daya tarik tersendiri terhadap siapa saja yang pernah singgah atau sekedar lewat.
Waktu tunggu pelengseran kami jelas berbeda dengan detik-detik kemerdekaan, namun terasa sama dengan betapa sulitnya kami mendapatkan kebebasan. Keluar menghirup udara bebas dari tanggung jawab selama menjabat.
Di ruangan ini banyak terselip khilaf di setiap sudutnya.
Di ruangan ini banyak keegoisan menempel pada setiap sisinya.
Di ruangan ini banyak kebohongan, pembelaan diri, dan suara tinggi memuai dan melebur melalui teralis jendela berdebu.
Loker-loker yang berdiri seakan mengisyaratkan arsip pembelajaran kami yang masih siap untuk di tampung.
Perbekalan kami mungkin belum cukup namun waktu telah melirik kami untuk menyudahi periode ini.
Selamat datang wahai pengganti, semoga kalian dapat menunjukkan kerja nyata bukan sekedar janji dan ambisi…
jeritan perubahan

Jumat, 25 Juli 2014

hari ini kutitipkan janji untuk bertemu di ufuk fajar
namun, selalu saja ada pekat menyetubuhi pandangan..
aku gagal menepatinya, waktu terlalu cepat menarikku

lama tak kutemui, kau tampak lusuh tertidur dalam balutan doa setiap orang yang mengenalmu..
bukankah tertawa dan bicara adalah kebutuhan untuk merasakan beban kita?

kau yang tertidur pulas, nampak tak menghiraukan kedatanganku
diam dan membeku....

rindu untuk menepatinya teramat besar sebelum perpisahan membuyarkan lamunanku

ijinkan aku untuk menepatinya walau lewat mimpi,
meskipun aku sadar kita tak dapat lagi bersentuhan dalam ruang dan waktu

meskipun aku mencoba mencumbumu lewat senja yang memudar, tak juga akan ku temui kau disana

di ruang persegi sederhan kau nampak tenang
hidup memang tak secerah malam ini
aku yang kini dirajam rasa candu dalam kerinduan pada abstraknya jingga yang menghitam..

waktu terus berlalu..
dan kita masih membisu
bila semua terhenti,
biarkan aku tetap menanti...

dan kini aku sadari, aku dan kamu berbeda dimensi....


evi